Wednesday, September 03, 2008

PERAMPOK KOLOR IJO DI SUKAWATI

Ada berita mengejutkan tentang perampokan di Sukawati pada hari pertama umat muslim menjalankan ibadah puasa. Seorang perampok bercawat hijau masuk ke rumah Kadek Hendra (27 tahun) ketika dia sedang membuat susu untuk bayinya kira-kira jam 4 pagi. Perampok itu, diam-diam mengikuti Kadek masuk ke kamarnya dari dapur. Sesampai di depan kamar tidurnya, perampok ini langsung menodongkan celurit ke kepala bayi tidak berdosa itu seraya mengancam Kadek untuk menyerahkan harta bendanya. Kadek ketakutan dan pasrah menyerah. Dia merelakan perampok itu mengambil laptop, handphone, dan banyak perhiasan emas warisan ibunya yang sudah meninggal. Di rumah itu, hanya tinggal Kadek, istri dan anaknya sehingga tidak banyak yang bisa ia lakukan. Perampok itu melenggang kabur lompat tembok pagar diselatan rumah Kadek yang adalah pematang sawah. Saking terburu-burunya perampok itu, beberapa emas sempat ditemukan warga beberapa jam setelahnya.

Ibuku tergopoh-gopoh menceritakan hal ini padaku baru semenit mematikan mesin motor yang membawanya pulang mengajar di SDN 3 Sukawati. Kadek Hendra adalah teman sekelas adikku Diah semasa SD. Seharusnya ada bapak kandungnya juga yang tinggal dirumah itu, tetapi berhubung bapaknya sudah menikah lagi dengan orang jawa, janda beranak 3, dia tidak mengizinkan bapaknya untuk tinggal di rumahnya lagi dan bapaknya memilih untuk membuat rumah baru di sawah milik mereka. Lokasi rumah kadek memang sangat strategis untuk disatroni maling, karena di belakang rumahnya sawah, sebelah kanan rumahnya ada pura (yang notabene sepi) dan didepan rumahnya jalan raya. Didepan jalan raya, ada pura lagi. Mungkin perampok ini sudah survey duluan.

Ida Bagus Aji, tetua yang ku hormati adalah seorang polisi disamping dia juga adalah calon Pedanda (Pendeta) yang harus dipangku untuk menggantikan almarhum Aji (bapak)nya. Dari Gus Aji, begitu dia biasa ku panggil, polisi menduga perampoknya dari Gang Kolor Ijo yang biasanya adalah orang Lombok. Ciri khas mereka adalah cawat berwarna hijau (karena itu disebut Kolor Ijo), mereka biasanya beroperasi setelah bulan mati (Tilem/15 hari setelah bulan purnama) dan di jam-jam menjelang subuh, karena itu adalah kondisi malam yang paling pekat. Biasanya sebelum mereka beroperasi, mereka makan atau buang air besar terlebih dahulu di rumah orang yang mau disatroni. “itu biasanya syarat dari ilmu (magic) yang mereka pakai” kata ratu biang, istri Gus Aji.
“tapi biasanya pasti ada perampokan disini, kalau menjelang bulan puasa. Mungkin mereka cari duit untuk pulang mudik” tambah Dayu biang.

Kasihan bulan puasa dinodai dengan kondisi ini. Minoritas pendatang yang kebanyakan dari Jawa dan Lombok berada di posisi yang pas untuk dicurigai, menurut beberapa orang.

Beberapa polisi memang berjaga-jaga, tetapi pada saat itu saja. Ketakutan menyelimuti perasaan beberapa warga, termasuk aku yang dirumah hanya ada dua orang wanita, aku dan ibuku dan seorang bayi laki-laki, Rakryan anakku. Pastilah kami jadi sasaran empuk. Saking khawatirnya, aku punya kebiasaan baru: mengunci pintu kamar sebelum tidur. Orang Bali, mana biasa kunci kamar ketika tidur?. Tetapi setelah dipikir-pikir, apa yang mau dirampok dari rumahku?