Tuesday, July 04, 2006

Back To Nature




Sukawati 4 July,

aku seperti kacang yang baru merasakan kembali kerinduan pada kulitnya, meskipun aku tidak pernah lupa. pulang ke rumah setelah lama bergelut dengan deburan ombak diperbatasan sulawesi dan maluku, sembari berjuang mendapatkan pekerjaan, aku seperti hidup kembali. hari-hariku lebih banyak dihabiskan untuk ngayah (bergotong royong untuk mempersiapkan upacara keagamaan). menikmati waktu yang kubuang dibale banjar mejejaitan, metanding dan tidak lupa bergosip dengan ibu-ibu. ada juga nenek-nenek. tapi jumlahnya kecil. jarang sekali nenek-nenek ngayah di banjar, kecuali kalau anak perempuan atau menantu mereka menjadi wanita karier dan sibuk bekerja. dadong riman, mungkin umurnya sekitar 70 tahun sebaya dengan dadongku, dia menerawang menceritakan kisah cintanya yang gagal dengan seorang guru. geli juga mendengar, nenek-nenek bernostalgia tentang kisah cintanya.. yah dong riman, mungkin tidak mau kalah dengan ABG sekarang.

mungkin sekitar 4 tahun lamanya, aku menghindarkan diri (tepatnya) dari kewajiban ngayah. dulu selalu saja, ibuku dan dadong (nenek)ku yang kuandalkan mengambil tugas ini. kuliah di jogja dan sibuk bekerja, kerap menjadi alasanku untuk tidak ngayah. padahal, sehabis jam kerja aku pasti maen.

keenggananku pada acara ngayah dan ngadat (gotong royong untuk acara kemasyarakatan) salah satunya berpangkal dari kekecewaanku pada adat patriarki didaerahku. bahwa disebuah keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki harus meminang laki-laki untuk menjadi kepala keluarga di rumah mempelai perempuan. kondisi ini, sangat dihindari oleh setiap lelaki bali pada umumnya. kondisi ini, sama seperti penyakit lepra. hindari menikah dengan perermpuan dari keluarga yang tidak ada saudara laki-lakinya. selama beberapa tahun, aku merasa seperti kena penyakit lepra.

beberapa hari ini, aku seperti merasa balik lagi kepada diriku sendiri. rasanya seperti minum segelas air sehabis berlari sejauh 20 kilometer. sejauh apapun aku menghindar, aku tidak akan bisa melupakan identitasku. dalam ngayah, aku merasa menjadi orang bali kembali. meski berpuluh-puluh sorot mata heran melihat kehadiranku yang tidak lazim. mungkin mereka heran atau malah meremehkan aku sebagai seorang penggangguran. siapa peduli. aku tidak akan membagi kebahagiaanku menikmati kerinduan ini.

aku menikmati, warna kuning keemasan matahari sore yang menerpa kulitku ketika pulang ngayah. menghirup segarnya bau legit tanah yang dibasahi oleh air hujan. menikmati mentari yang baru terbebas dari gelapnya awan, dan yang mengintip di balik klepan-daun kelapa yang hijau didepan rumah kakekku.

aku benar-benar bahagia.

2 comments:

andreasharsono said...

Dewi,

Aku senang sekali baca naskah ini. Rasanya ikut hadir di satu kampung Bali. Aku usul khusus untuk bahasa-bahasa non-bahasa mainstream dalam suatu naskah, dicetak dengan huruf miring. Kalau nulis dalam bahasa Melayu misalnya, lalu muncul bahasa Bali, ya yang Bali ini cetak miring. Ia akan menciptakan greget baru dalam naskah. Kalau kamu menulis dalam bahasa Inggris, jangan ragu buat memasukkan kata-kata non-Inggris juga. Biar lebih hidup. Persis kayak bikin naskah soal ngayah ini. Terima kasih.

andreasharsono said...

Dewi,

Tadi sore beberapa rekan Pantau mengobrol di Plasa Semanggi. Kami tiba-tiba punya ide bagaimana kalau membuka satu kantor di Bali? Kami capek dengan keruwetan lalu lintas Jakarta. Kami ingin pindah kantor ke tempat yang punya airport internasional. Peluangnya, tentu saja, Bali. Seberapa sulit ya buka kantor di Bali?