Monday, June 12, 2006

Bapak Asiru, Pengungsi Tual di Tomia.

Selintas wajah bapak Asiru mirip dengan penyanyi dangdut Meggie Z. Pertamanya saya tidak menyadari, sampai dia bercerita banyak orang di Jawa mengira dia mirip Meggie Z. Setelah sejam ngobrol dengannya dirumah panggungnya di desa Ulati, Tomia Timur, saya baru menyadari, iya memang mirip.

Guratan gambar usia terpahat tegas di wajah hitam Pak Asiru. Dia, salah seorang dari 20 KK dari Tual yang mengungsi ke Tomia setelah kerusuhan 1999 di Maluku. Hanya dengan sepotong baju yang melekat di badan, dia membawa lari istri, 3 anaknya dan dua cucunya. Bahrudin, cucu laki-lakinya baru berumur 4 bulan ketika itu.

”waktu itu, cucu saya Bahrudin, terserang demam tinggi, matanya sudah putih semua. putih. Saya kira akan meninggal.” kenang Pak Asiru menerawang sedih.

Dengan sisa tenaga, Pak Asiru mengayuh kapalnya menuju barat. Dia tidak punya tujuan mau kemana, asal keluarga selamat dan bisa segera keluar dari Tual. Kebetulan ditengah perjalanan, mereka ingat punya saudara yang menjadi kepala desa di wilayah Tomia Timur.

Di Tomia, Pak Asiru dan keluarganya menata kehidupan mereka dari nol lagi. Pak Asiru sedikit demi sedikit mulai merakit kembali body boatnya. Dengan boatnya, dia mulai membuat bagan untuk menangkap ikan teri lumpur, seperti pekerjaannya dulu sewaktu di Tual. Beruntung waktu itu, ada bantuan dari dinas sosial untuk setiap pengungsi Maluku.

”tidak banyak, hanya 45 ribu orang per jiwa. Tetapi lumayanlah.” kata Sulastri, gadis manis bermata belok putri kedua Pak Asiru yang lulusan SMEA.

”saya tidak tahu rahasia tuhan. Ketika bodi sudah selesai, kebetulan ada bantuan dari Brunei. 3,5 juta untuk setiap KK. Waktu itu, saya berpikir, mau beli mesin atau membangun rumah. Akhirnya saya beli mesin boat. Saya beli mesin 220 PK harganya 2,9 juta. Uang bantuan itu, tidak sampai 3 hari tidur dirumah”. Lanjut Pak Asiru mengenang perjuangannya melawan nasib.

”kalau buat rumah, saya tidak bisa melaut. Kalau melaut, saya bisa nabung untuk buat rumah toh!. Saya termasuk orang yang beruntung juga, tidak lama setelah itu, ada kapal karam didekat sini. Kapal muat kayu. Jadi saya angkut 2 kali kayunya pakai kapal saya dan akhirnya jadilah rumah ini”. Kenang Pak Asiru sambil tertawa.

Keluarga Pak Asiru tinggal di rumah panggung berukuran 6x6 meter. ruang tamunya menyatu dengan dapur. Ciri khas rumah masyarakat timur yang menyiratkan keterbukaan dan kebersahajaan si empu rumah. Sulastri, anak gadis yang sering membantu pak Asiru di bagannya, menyiapkan teh dan kopi untuk kami. Sembari memasak air, dia mengaduk adonan tepung untuk pisang goreng.

Awalnya, rumah itu terasa sempit untuk diduduki oleh 8 orang termasuk yang empunya rumah. Tetapi dengan keramahan pak Asiru, ruangan itu terasa besar sekali untuk kami. Sebenarnya didepan rumah panggungnya, pak asiru sudah membangun pondasi rumah batu.

”saya tidak tahu, kapan ini bisa berdiri (ditambahkan betako-pen).” ”mungkin sepuluh tahun lagi, ya siapa tahu”. Tutur pak Asiru, melemparkan pandangannya ke pondasi rumah yang terbuat dari batu karang dengan campuran pasir putih.

Kerja keras adalah slogan Pak Asiru untuk memaknai hidup. Hidup itu adalah kerja yang tidak pernah berhenti kecuali mati. Itu sebabnya, dia paling sebal melihat orang-orang yang masih jongkak jongkok di depan rumahnya atau main kartu dan berjudi. Kebiasaan khas orang pulau kecil terpencil untuk menghabiskan waktu karena minimnya hiburan. Selain bekerja di laut, keluarga Pak Asiru juga bekerja di ladang. Mereka menanam bawang merah ketika musim angin barat yang membawa air hujan mulai datang. Kalau angin musim timur, mereka mengisi kebunnya dengan kacang tanah. Mereka juga menanam ubi kayu. Tidak ada lahan yang dibiarkan menganggur begitu saja. Disekitar rumah gubuk, mereka menanam pisang, pepaya, sedikit tembakau untuk istrinya.

--

Di balik kesederhanaan Pak Asiru, tersembunyi semangat seorang pengorganisir masyarakat. Dulu ketika di Tual, Pak Asiru mengorganisir nelayan ikan teri lumpur di Tual yang dikibuli harga teri oleh seorang pengepul ikan yang biasa datang ketempat mereka. Pengepul ini memberi harga yang rendah. Ketika Pak Asiru mengetahui harga pasaran ikan teri lumpur di Jakarta, dia mengajak nelayan lain membentuk kelompok nelayan bersatu menentukan harga jual ikan mereka dengan harga yang pantas.

Semua ikan hasil tangkapan nelayan dikumpulkan menjadi satu. Ketika pengepul datang, kelompoknya menawarkan harga yang disepakati, awalnya pengepul ini menolak. Tetapi karena semua stok barang sudah terkumpul jadi dia tidak bisa membeli ditempat lain. Deal kedua, kelompok pak asiru meminta pengepul untuk membeli semua stok barang di kelompoknya. Karena kekurangan uang, akhirnya pengepul minta untuk membawa barang ke jakarta dan bayaran belakangan. Karena takut dicurangi dan ingin ketemu bos pengepul itu langsung, maka pak asiru ikut datang ke jakarta. Sesampainya dijakarta dan bertemu dnegan bos pengepul namanya Ahong. Akhirnya mereka sepakat bahwa transaksi itu langsung saja antara kelompok dengan Ahong. Pada waktu itu ada kapal feri bukit singgalang yang langsung dari ambon ke jakarta.

Bisnis dengan a hong sangat menguntungkan. Begitu barang sampai dijakarta dan diperiksa anak buahnya A hong. Duit langsung dikirim pada hari itu juga melalui bank.
Sudah hampir 6 tahun ini pak asiru tidak menghubungi a hong. Padahal kontak ahong masih ada untuk dia.

Semangat mengorganisir ini belum pudar. Di Tomia, dia membentuk kelompok nelayan Cahaya Rahmat, kelompok nelayan menggunakan jaring pelingkar di Desa Ulati, Tomia.
”saya melihat nelayan di Tomia ini sangat terpengaruh semangat dagang. Mereka tidak banyak mengembangkan metode tangkap.” sesal Pak Asiru, dengan alis terangkat.

”saya tidak punya harta benda untuk dibagi ke masyarakat. Saya hanya punya pengalaman dan sedikit wawasan. Dengan modal ini, kami tetap maju.”

Dlam hidupnya ada satu nama yang memberi pak asiru, mengenai makna hidup. Roem Topatimasang, seorang organisatoris rakyat di daerah maluku menjadi tauladannya, inspirasinya Sampai saat ini, selalu ingat nasehat om tua itu.. begitu pak asiru memanggil pak roem. Bahwa manusia harus berdiri diatas kaki sendiri, selalu berusaha..

Sepanjang perjalanan hidupnya, ada 4 pelajaran berharga yang terus dipupuknya sampai saat ini. Hidup, tidak cukup hanya dengan makan. Hiduplah seperti manusia. Menjadi manusia, ada 4 modal. Pertama, kita harus berani! Dengan berani, kita selalu mengambil langkah mendobrak. Kedua, manusia itu harus jujur, terutama jujur pada dirinya. Ketiga, menjadi manusia itu harus percaya diri. Dan keempat, kontrol.

-----

Mata tua pak asiru menerawang mengingat rumah mereka di tual, lokasinya sangat bagus meskipun letaknya dilokasi yang agak miring. Dibagian bawah menghadap jalan raya dan dibagian atas juga menghadap jalan raya. Jadi rumah mereka bisa diakses darimana saja baik yang diatas dan dibawah serta menghadap laut.

Keluarga pak asiru termasuk dari 20 KK pengungsi tual yang tidak ingin lagi kembali ke tual. Mereka memilih menetap di tomia. Orang tomia juga sangat berterima kasih dengan kehadiran pengungsi ini karena sejak kehadiran mereka, mulai ada banyak sayur di tomia. Sebelumnya orang tomia hanya makan kelor dan daun pepaya.

”saya tidak berniat untuk kembali menetap di tual. Sama saja, disana saya harus memulai kehidupan dari nol lagi. Biarlah saya memulainya disini saja.” kata pak asiru, mata belok sulastri juga menyiratkan jawaban yang sama.

No comments: