Monday, June 12, 2006
Pak Gapa, Nelayan Penambang Karang
Wanci, 27 Mei 2006 jam 09.30
Namanya Pak Gapa. Umurnya kira-kira 50 tahun, karena dia sendiri tidak ingat berapa umurnya. Entah mimpi apa dia semalam, pagi-pagi sekitar jam 8 ketika dia sedang menambang karang, Dia tertangkap basah oleh jagawana yang membawa rombongan wartawan jakarta untuk meliput potensi laut wakatobi.
Pak Gapa jongkok menggigil di atas coli-colinya. Ketakutan. Nasibnya, tidak sebagus 3 penambang karang lainnya tadi yang sempat kabur sebelum diinterogasi wartawan dan dimarahi jawagana. Salah satunya ibu-ibu bahkan. Dia menggenjot sampannya, sekuat tenaga. Takut ditangkap jagawana.
”Mereka pasti sembunyi dulu didaratan. Dan memberi tahu teman-teman mereka untuk tidak kelaut karena ada patroli. Kapal ini (boatnya TNC-WWF) sudah dikenali para penjarah karang ini, karena kami sering patroli memakai boat ini” Kata Pak Syukur, seorang jagawana Taman Nasional Kelautan Wakatobi.
Selintas wajah pak Gapa ini mengingatkan saya pak tokoh utama film God Must Be Crazy, saya lupa namanya siapa. Tapi Mas Gesit, wartawan Kompas, buru-buru meralat saya.
”Mukanya pak Gapa lebih cerdas dari yang di film God Must Be crazy itulah.”.
Pak Gapa orangnya kurus, hitam. Diatas rambutnya yang kriting tapi cepak, bertengger kaca mata renang tapi buatan lokal terbuat dari kayu. Kacanya dilapisi ban karet hitam agar air tidak masuk. Di pasar wanci dijual dengan harga 7000.
Coli-colinya sudah terisi hampir setengah karang. Ada karang yang sudah mati dan ada karang yang masih hidup yang diambil. Ada karang otak yang lumayan besar, diambil juga oleh pak gapa. Coli-colinya, diikat di boat. Matanya masih nanar dengan senyuman yang terasa dipaksakan. Setelah diyakinkan oleh orang-orang dikapal termasuk wartawan, bahwa dia tidak akan ditangkap dan hanya ditanya-tanyai, senyum senang mulai mengembang dari bibirnya yang hitam, meski matanya masih menyiratkan kesan ketakutan.
”tidak saya jual. saya mau buat rumah” elak pak gapa ketika diserbu pertanyaan oleh wartawan untuk apa karang-karang itu.
”kalau teman-teman yang ngambil karang katanya dijual 50.000 sekoli-koli”. Orang-orang bajo mola termasuk pak gapa, banyak yang mengambil karang untuk dijual ke darat. Istilah mereka untuk orang wanci yang tinggal didaratan. Biasanya, karang-karang ini dijual untuk dijadikan pelabuhan kecil dipinggir-pinggir pantai sebagai tempat sandaran kapal atau dibuat reklamasi untuk pondasi bangunan warung atau rumah makan.
Tetapi tidak hanya orang bajo mola yang mengambil karang, orang-orang daratan juga banyak yang mengambil karang.
”ini bisnis yang paling mudah untuk dapat uang cash” kata Pak Syukur. Mereka tinggal mencongkel karang, menjual ke darat terus dapat uang. Daripada mereka memancing ikan. Lama. Baru dapat ikan.” tambahnya lagi.
”anak saya 5. 4 sudah menikah. Masih satu lagi yang ikut saya. Istri saya sudah meninggal”. Kata Pak Gapa. Dirumah pak gapa, hanya dia yang kerja untuk mendapat uang. Meskipun anaknya sendiri, untuk makannya bisa memancing ikan sendiri di laut.
”orang bajo itu, sudah tahu kok, kalau menambang karang itu dilarang tapi mereka masih melakukannya karena itu cara yang paling cepat untuk menambang karang”.
Orang bajo itu hidupnya sangat sederhana. Sebagian besar rumah mereka, berada diatas laut. Meskipun ada beberapa yang sudah berada dipinggir laut tetapi kalau air pasang rumah mereka masih tetap berada diatas laut. Mereka ini juga hidupnya sangat sederhana. Tidak pernah ke dokter, kalau sakit. Kalau melahirkan hanya ditunggui oleh suaminya. Dan kalau meninggal, mayatnya dicemplungkan ke laut. Diberi pemberat dibagian kaki, dada, dan kepala.
mereka menangkap ikan memakai tali pancing, kalau tidak mereka pakai panah. Mereka tidak pernah mengebom ikan, seperti yang dilakukan beberapa oknum orang didarat. Padahal aktivitas ini yang paling parah merusak karang...
karena menangkap ikan memakai alat pancing sederhana mereka tidak pernah mengambil ikan berlebihan. Cukup untuk diri mereka dan dijual sedikit dipasar untuk ditukar dengan barang2 kebutuhan yang lain. Orang bajo hampir tidak punya tabungan. Hanya orang bajo yang sudah menetap seperti bajo sampela, dan mantigola punya tabungan. Mereka menambung dalam bentuk perhiasan emas. Uang sekarang dipakai sekarang.
Rumah mereka pondasinya karang. Mereka membuat kanal-kanal antar rumah. Persis seperti gang-gang dirumah daratan. Bedanya gang dilewati mobil, gangnya orang bajo dilewati coli-coli dan tidak ada rambu-rambu lalu lintas. Apalagi polisi tidur.
Dinding rumah terbuat dari bedeg, anyaman bambu sementara atapnya terbuat dari seng.. dulunya mereka pakai daun kelapa. Tetapi untuk awetnya sekarang mereka pakai seng. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana merekan bisa diam dirumah disiang hari dnegan cuaca panas didalam seng. Seperti didalam oven mungkin.
sebagian besar aktivitas orang bajo dilakukan didalam rumah 6x6 m ini. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi pada malam harinya. Uniknya, bagaimana aktivitas hubungan suami istri dilakukan. Orang bajo punya siasat yang unik, kalau mereka melakukan hubungan suami istri di malam hari mereka melakukan dirumah dnegan gerakan seminimal mungkin membangunkan orang. Kata Veda yang pernah tidur dirumah orang bajo, ”gimanapun, masih kedengeran juga, orang tempatnya disekat Cuma pake kain. Masih terdengar kreot..kreot..kreot begitu.”
nah gimana kalo mereka kebelet melakukannya disiang hari... rupanya mereka melarikan diri dilaut untuk itu... mereka melakukannya diatas coli-colinya. Kalau anda melihat layar kapal diturunkan atau sampan mereka naikkan diatas kapal dengan posisi berdiri. Tandanya kapal janngan didekati karena mereka sedang asik... ada yang melakukannya ditengah laut terbuka, ada juga dibalik bakau..
”kalau kapal layarnya diturunkan, atau sampannya dinaikkan itu tandanya kapal sedang tidak menjadi kapal (untuk menangkap ikan). Kapal sedang dipakai untuk alasan lain”. Begitu penjelasannya veda ketika saya tanya kenapa tanda-tandanya seperti itu.
si Bardin, bercerita, dia pernah mendekati kapal yang layarnya sedang diturunkan.. buru-buru sang empunya kapal memakai celanannya yang melorot sembari bilang..”eh bapak.., saya kira siapa??.. sambil tersipu malu.. yang malu juga si bardin, yang merah mukanya..
kembali ke pak gapa.... menurut pak syukur, pak gapa ini dulu sudah pernah ditangkap karena menambang karang juga. Tetapi sudah dilepas,,, pak syukur menyakinkan pak gapa sekali lagi dengan nada menekan, kalau sekali lagi jagawana melihat pak gapa menambang karang maka akan ditangkap.
Pak gapa hanya mengangguk saja... tetapi siapa yang menjamin besoknya dia tidak menambang karang lagi..
Seperti pertanyaan.. seorang wartawan dari jakarta.. apakah pak gapa tidak takut melanggar hukum?... dia hanya tersenyum kecut.. masalahnya tidak sesederhana itu,.. bukan masalah takut dan tidak takut.. masalahnya adalah kebutuhan hidup. Seharusnya ada solusi yang pas menjembatani orang bajo... sementara orang bajo hanya bengong meihat boat, kapal2 besar dengan teknologi yang lebih bagus mengeruk kekayaan alam disekitar nya dari atas coli-coli yang didayung pakai sampan. Sementara, kegiatan penambang karangnya banyak diekspose media... mungkin karena dari segi berita dianggap bagus,, bajo yang notabene masih hidup primitif menurut orang kota, menambang karang yang notabene melanggar hukum.. pas lah sudah dengan steriotype orang suku tradisional itu orang bodoh.
Persislah sudah si pak gapa ini seperti tokoh the god must be crazyyy…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment