”Tak ada Dokter di sini.......”
kamis, 8 juni 2006
Baru menjejakkan kaki di pelabuhan Tomia, setelah 4 jam berjuang diterpa hempasan ombak angin timur, sudah disambut dengan sinar matahari yang menyengat. Perjalanan 4 jam dari wanci ke tomia terasa melelahkan. Untung hari ini, cuaca cerah. Biasanya hujan terus, kalau tidak mendung. Andai saja, tidak ada pemandangan ikan-ikan terbang dan sesekali koli-koli masyarakat bajo melintas, perjalanan ini pasti akan membosankan.
Suasana kampung di desa waha ini sepi. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah ketimbang keluar. Hanya ada satu dua ibu-ibu yang melintas menjinjing tas kresek hitam. Mungkin baru membeli sesuatu dari toko yang berjejer di perempatan pelabuhan. Tiba-tiba kak udin, seorang master dive yang sekarang bergabung dengan WWF Indonesia, salah satu organisasi pelestari laut mengeluhkan sakit kepala. rupanya, sakit kepalanya belum reda, akibat matanya kena jotos kompressor selam ketika hendak mengecek alat. Tutup kompresor mental kena matanya. Ketika itu, mata tiba-tiba seperti mike tyson yang dijotos hollyfied. Merah dan bengkak. Sakit matanya itu, yang sekarang merambat jadi sakit kepala. sebenarnya, dia sudah menyiapkan paramex yang dibeli di wanci, tetapi ketinggalan di kapal.
Sambil jalan, mau ketempat pak udin. Kami bertanya pada ibu-ibu yang jualan di warung-warung diperrempatan pelabuhan. Ada yang jual paramex, atau paling gak obat sakit kepala. tidak satupun warung yang menjual obat itu. Padahal obat itu khan dijual bebas dipasaran. Ada sekitar 4 warung yang kami tanyakan, disepanjang jalan mau ke rumahnya pak udin. Rumahnya tidak jauh dari pelabuhan hanya sekitar 400 meter. Orba, salah seorang jagawana yang sering tinggal di tomia, menyarankan sebaiiknya kami membelinya di apotek deket rumah ibu bidan.
Karena tidak ada waktu, dan harus menunggu teman-teman yang lain. Kak udin, menunda membeli obat, dan meringis menahan sakit kepalanya. Sambil ngobrol dengan para jagawana yang hendak ke runduma untuk monitoring penyu. Selama obrolan itu, menyinggung tentang dokter.
Mulailah temen-temen curhat mengenai minimnya layangan kesehatan. Seperti halnya pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia, salah satu hal yang umumnya dikeluhkan oleh masyarakat Tomia adalah kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat di Tomia mengeluhkan kurangnya tenaga dokter dan layanan kesehatan. Di pulau tomia yang dibagi menjadi 2 kecamatan.... tenaga dokter hanya ada di wilayah Usuku. Kalau ada anggota masyarakat yang sakit harus ke Usuku, karena diwilayah Usuku ada puskesmasnya. Jadi dokter yang disana adalah dokter jaga untuk puskesmas. Jadi kalo ada anggota masyarakat dari Waha misalnya yang sakit harus ke Usuku, yang letaknya kira2 10 kilometer. Repotnya kalau tidak punya motor.
Sebenarnya ada beberapa mantri kesehatan disekitar wilayah mereka, namun sepertinya masyarakat lebih memilih pergi ke dokter daripada ke mantri. Disamping itu, dukun kampung dengan obat kampung juga ada. Tetapi keberadaan mereka tergusur karena kepercayaan masyarakat kepada dokter lebih tinggi.
Mereka menginginkan ada seorang dokter yang tinggal didekat-dekat mereka. Dr. Sukirman, adalah seorang dokter dari bali, yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat di tomia, khususnya di Waha. Dr. Sukirman, orangnya baik. Dia sangat akrab dengan masyarakat.
”pak sukirman itu,, dokter yang hebat. Dia bahkan meracik obat sendiri, dan mengoperasi sendiri. Kalau ada dia, masyarakat tenang.”Kata saharuddin, bapak satu anak itu warga desa Waha.
Matanya menarawang mengingat kembali jasa-jasa pak dokter sukirman. Dokter Sukirman selesai tugas disana sekitar tahun 1989.
”Semua orang menangis, waktu pak Sukirman kembali ke Bali. Kita semua senang, kalau dia disini”. kata Pak Udin, seorang Jagawana yang tinggal di Tomia.
Saya baru tahu yang wajah dokter sukirman, waktu melihat album fotonya Bardin. Dokter Sukirman, keturunan Cina, orangnya pendek sekali. Senyum manis tersungging dibibirnya. Dalam foto itu, Bardin kecil ada dalam pelukan Dr. Sukirman, dan dikelilingi oleh suter-suster yang bertugas di Tomia pada waktu itu.
Selain Dokter Sukirman, ada juga pak gede, seorang dokter dari bali juga. Nah dua orang itu yang paling diingat masyarakat disini.
”Sekarang saya tidak tahu mereka dimana, terakhir yang saya dengar pak sukirman sekarang tugas dijakarta. Tepatnya saya tidak tahu, tetapi saya dengar-dengar di sebuah rumah sakit besar di jakarta. Kalau pak gede sudah balik ke bali” tambah pak Udin lagi.
”Dulu juga pernah ada dokter wanita dari makasar, orang bugis. Dr. Yanti namanya. Dr. Yanti ini aktif aktif sekali orangnya. Sering dia, jalan-jalan di kampung dan mampir ke rumah penduduk nanyain gimana keadaannya. Dia orangnya ramah dan supel.” kata Saharuddin
”Dia juga orangnya tidak jijikan. Dulu pernah pak...?? dari kaki sampai pahanya kena ledakan kompor gas. Luka bakar dikakinya banyak sekali, sehingga Dr. Yanti harus membersihkannya berjam-jam. Tetapi dia gak jijik tuh, abis itu. Dengan enaknya dia menghabiskan makan siangnya. Padahal kalau saya disuruh makan itu pasti gak bisa, mau makan gimana, orang kaki bapak itu sampai daging-dagingnya keluar” Kata pak udin, merinding tapi dengan ekspresi salut. Saharuddin mengangguk mengiyakan.
---
Bapak Udin ini, seorang jagawana. Tinggal di rumah kontrakan dengan ukuran 6x6 meter. rumah sederhana berlantai semen. Dibelakang rumah ditambahkan gubuk kecil yang menempel dengan rumah terbuat dari bedeg bambu dan berfungsi sebagai dapur. Pak udin, punya dua anak. Satunya perempuan umurnya sekita 5 tahun, belum sekolah. Dan satu lagi, cowok?? Masih bayi umurnya 4 bulan. Anaknya sering ditinggal tugas, karena dia termasuk tim penyu, jadi kadang-kadang harus meninggalkan istri dan anaknya monitoring penyu di pulau runduma. Pulau runduma adalah pulau peneluran penyu. banyak penyu datang bertelur disana, secara berkala dia mencatat berapa kali penyu naik pada musim peneluran. Pulau runduma letaknya sekitar 4 jam dari tomia naik boat. Kalau naik kapal perahu sampai mungkin sampai 5 jam.
”itu kalau tidak kencang ombak”. Kata Pak Udin. ”kalau ombaknya kencang bisa lebih lama lagi, ditambah lagi perutnya pasti tidak enak. Mabuk laut.” tambahnya.
Karena tugasnya ini, dia kerap khawatir meninggalkan istrinya apalagi anaknya masih kecil. Kekhawatirannya kalau anaknya tiba-tiba sakit. Tidak ada dokter. Menurutnya, anak2 dibawah usia 5 tahun rentan sakit. Syukurnya sampai saat ini anaknya belum pernah sakit parah. Dia ingin ada seorang dokter yang tinggal didekat rumahnya.
Pak Udin kisah hidup yang seru sewaktu bekerja di tempat seorang dokter dari Bali yang bertugas di bau-bau. Dr. Yoga namanya, Dokter ini berasal dari daerah Gianyar di Bali. Gara-gara ikut pak dokter inilah, dia pernah merasakan tinggal sebulan di pulau dewata. Dan oleh pak dokter sebenarnya ingin disekolahkan di Bali, tetapi dia menolak karena tidak bisa jauh dari keluarga. Dia sedikit menyesal, kalau seandainya dulu mau disekolahkan di bali, mungkin nasibnya lebih baik. Tapi buru-buru dia menepis khayalannya itu, dan mengalihkan topik pembicaraan.
Katanya orang-orang tomia, banyak yang sudah jadi dokter. Tetapi tidak ada yang mau kembali ke tomia. Kebanyakan dari mereka tinggal di kendari, bau-bau, dan makassar. Kata pak Udin, bahkan kepala dinas kesehatan di bau-bau berasal dari Tomia.
Untungnya, untuk urusan melahirkan tidak menjadi masalah. Di desa Waha sendiri ada 5 bidang yang siap membantu ibu-ibu melahirkan. Bidan-bidan ini juga mempunyai dampingan dukun-dukun beranak desa untuk membantu proses melahirkan.
Tuesday, June 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment