Wanci, 1 Juni 2006
Kepala rasanya masih oleng meski sudah sejam menginjakkan kaki di Wanci. aku melawatkan 4 hari hidup diatas kapal mengitari kepulauan Wakatobi. Ini pertama kalinya aku ke Wakatobi, itupun setelah beribu-ibu kali veda, suamiku membujukku.
Teriakan Indar mengagetkanku.
”Jogja gempa..jogja gempa??”. katanya dengan muka serius.
Kali ini kulihat raut wajahnya hampir mendekati serius. Dia terlalu sering iseng dengan becandaannya. Dia pernah teriak ”ada hiu, ada hiu”. Tepat ketika wartawan jakarta dan kendari berjuang sekuat tenaga melawan arus ketika snorkeling di perairan karang kaledupa. mereka gondok bukan main. Aksi balas dendampun dirancang sesampainya mereka diatas. Beberapa orang, hanya dengan komando kerlingan mata, mengangkat tubuhnya untuk diceburkan ke laut. Indar ya tetap indar. Meski meronta-ronta, dia tak kuasa dengan tubuhnya yang kecil mungil.
Byurrrr.... tinggal Indar nyengir ditengah lautan. Entah menyesali atau malah senang dengan ”balas dendam” teman-teman yang lain.
Tapi kali ini, tidak ku lihat wajah jahil Indar ketika meneriakkan ada ular.. ada ular ketika kami sama-sama snorkeling di pulau Hoga. Sumpah mati, ular binatang yang paling ku takutkan. Jangankan melihat, mendengar namanya saja aku sudah panik terasa mau mati. Ditambah lagi, aku sekarang berenang. Refleks kakiku meronta menerjang ombak. Hanya aku lupa, dilaut bukan kolam renang. Kaki refleks bergerak dengan gaya katak. Betiskupun berbenturan dengan fin-fin itu. Life vest menambah berat buatku untuk berenang.
Rasanya aku tidak percaya. Jogja tidak mungkin kena gempa. Rasa tidak percayaku sama seperti ketika pertama kali mendengar Bali dibom. Ketika itu tanggal 13 Oktober 2002, jam 1 tengah malam. Bom terjadi jam 11 malam. Bom mungkin meledak ditempat lain. Tetapi tidak dengan Bali. Baliku. Sama seperti gempa, tidak mungkin gempa terjadi di jogja. Aku pernah 6 tahun menjadi warga jogja ketika kuliah di UPN. Tapi otakku yang lain menyergap, protes. Mungkin saja karena Merapi mau meletus.
Dengan cepat otakku menscanning orang-orang yang ku kenal di jogja. Mas Doni, Mas Toto, Pak Roem, YPRI, keluarga di Kranggan, Danti, Komang, Bu Niniek, Om Margino, Om Janu, Tante Wiwin, Bli Lotok.... bagaimana mereka. Selamat gak ya...
Segera ku rebut laptopnya Veda, dan browsing di internet. Cari berita gempa. Ketika buka yahoo messenger, eh ada mbak Ririn disitu, lagi on line.
Drong drinngggg... droooonngggg driiiinnnggg
”Mbak Ririn, bener jogja gempa?”
”bener. Tadi pagi jam 6”
”parah gak? Kaliurang gimana”
”Kaliurang gak papa. Gempanya dari selatan. Dari laut”
”loh kok bisa. Aku pikir gara-gara Merapi meletus”
”enggak. Dari laut. 5,9 SR”
”terus kabar temen-temen gimana”
”gak tahu.. aku masih browsing neh. Susah menghubungi Jogja. Katanya parah. Rumah mas Toto, gentengnya jatuh.. dindingnya retak-retak.”
”waduhh..? kok bisa ya... parah banget berarti”
”aku belum bisa menghubungi keluargaku neh. ada adikku diJogja”
”oia.. terus rumah mbak Ririn gimana?”
”nah itu dia, aku belum tahu. Belum bisa menghubungi neh. aku lagi berrencana berangkat ke Jogja”.
”weee... bandara gak bisa dipake neh.. katanya bandara Adi Sucipto ditutup”.
”oya aku lagi berpikir mau pake apa?”
”pesawat Jakarta Solo aja. Dari Solo naik bisa ke Jogja. Kalo gak lewat Semarang”.
”bisa juga.. aku lagi berpikir mau pake mobil aja.. mungkin pesawat penuh. Orang lagi panik.”
”yo wiss.. mbak Ririn ati-ati ya...”
”thanks Wi...”
Ternyata dugaanku salah. Aku pikir gempanya gara-gara Merapi udah meletus. Eh taunya, datangnya dari selatan. Weeekkk... langsung aku berpikir, pak Rujito gimana ya... dia rumahnya khan dipinggir pantai Samas. Kena gak ya.... hatiku langsung miris. Menangis. Aku pengen banget berada disana. Membantu, mengevakuasi korban. heeekkk, tapi aku udah terlanjur janji dengan Veda akan disini selama sebulan. Ini baru seminggu.
Waktu itu, aku gak langsung nelpon mas Doni dan temen-temen yang lain. Hpku mati, dan aku malas banget ngecharge, badanku masih oleng. Tubuhku masih harus adaptasi untuk hidup didarat lagi setelah seminggu hidup tidak normal dikapal.
Sorenya aku baru menelpon pak Yoga. Untung dia ada.
”Pak yoga dimana?”
”aku masih di Denpasar. Kenapa?”
”waduh saya pikir di Jogja, saya denger dari TV, Jogja kena gempa. Takutnya Pak Yoga ada disana”
”oo... kamu udah tahu rumahnya mas Toto gentengnya rontok?”
”saya belum menelpon mas Toto, pak Yoga.. begitu ya..”
”iya.. sekarang rumahnya jadi posko”
”waduh parah banget ya.. terus mas doni gimana khabarnya?”
”doni belum bisa ku hubungi. Padahal hari rabu ini aku mau ketemu dia di Jakarta. Gimana ya.. bisa gak berangkat tuh anak”.
Aku langsung ingat, mas Doni itu, orangnya sangat sensitif dengan isu keselamatan. Pernah dia langsung lemas begitu mesin pesawat yang mau ke ende meledak mesin disebelah kiri waktu pesawat bari saja take off dari bandara Ngurah Rai.
Meski pesawat gak jadi berangkat, tapi dia masih tetap grogi sampai malam. Ketika tim fasilitator memutuskan tidak jadi ke Ende, dia orang pertama yang paling senang sampai mau lompat-lompat kayak kelinci hehehe.... hiperbola.
Selang beberapa hari aku baru bisa menghubungi mas Doni.
”Mas Doni, gimana khabarnya? gak dirumah sakit khan?.”
”wooo.. syukurnya gak dik. Cuma masmu ini agak lecet-lecet sedikit dikepala. Tapi gak apa-apa”. Mas doni itu sudah seperti kakak laki-lakiku. aku hanya dua orang bersaudara. Keduanya perempuan. Aku tidak mungkin punya kakak kandung laki-laki. Bapakku sudah meninggal 14 tahun yang lalu.
”iya aku lihat di TV, mengerikan banget kondisi di Jogja. Banyak korban yang meninggal”.
”banyak orang kegencet dirumah mereka dik, ya.. maklum khan masih jam 6 pagi. Tetanggaku, 6 orang meninggal. Sebenarnya yang satu orang, udah berhasil keluar rumah, tapi rumahnya malah yang ngejar dia. Ambruk ke depan.”
”lagian rumah-rumah di Jogja struktur bangunannya lemah je. Sedikit disenggol aja ambrol. Waktu kejadian mas Doni lagi ngapaen?”
”ehmmm... kamu tahu sendiri kan dik, masmu ini insomnia. Aku baru tidur jam 5. tiba-tiba mukaku dibangunin sama serpihan semen-semen tembok. Refleks aku bangun dan.. jatuh. Mungkin karena masih goyang”.
”terus luka?”
”lumayan. Lumayan besar jadi penghias botakku. Tapi udah gak apa-apa kok dik”.
”kata pak yoga, as doni mo ke jakarta, gimana bisa pergi gak?”
”waduh belum tahu pasti ini, gimana, masih berantakan begini.. aku mau beres beres dulu. Mungkin harus cari kontrakan baru.. bapak kontrakanku bilang mau sekalian merenovasi rumah ini. Menurutku emang mesti iya, direnovasi..bangunannya udah ambrol begini”
”yo wis,.. ati-ati ya”
”kamu sendiri gimana di Wanci, baik-baik aja toh”.
”aku baek-baek mas. Ini aku baru nyampe diwanci setelah keliling-keliling pulau-pulau di wakatonbi.. ini baru dapat sinyal. Kemaren aku hidup berhari-hari dikapal.”
”weee.. enak donk...”
”enak dan enggak. Aku mabuk 3 kali. Sekarang jalan aja rasanya masih oleng. Tapi yo weiss aku gak usah dikhawatirkan. Asal dirimu baik-baik aja.”
”dik kalau ada keluargamu atau temen yang masih belum bisa dikontak di jogja. Kasi tahu aku ya.. tar aku ta tengokin.”
”ok mas, yo wis. Itu dulu ya...”
abis nelpon mas doni, aku langsung mencet nomornya mas toto. Tuuttt...tuuutttt...
”babe.. gimana khabarnya?”
”babe baik baik. Cuma rumah, gentengnya pada jatuh eee”
”tido, bram dan bu wahya gimana?”
”mereka baik-baik. Sekarang dirumah jadi posko. Disini banyak juga yang jadi korban. babe masih sibuk ngurus-ngurus neh.”
”ya udah. Aku Cuma khawatir ada apa-apa dengan babe”.
”hati-hati ya be..”
”iya..kamu hati-hati juga.. kamu masih diwanci?”
”masih be..”
”ati-ati ya..”
”ya..yuk be..”
---
jogjaku sayang jogjaku malang. Aku menangis. Jumlah korban semakin lama semakin meningkat. Tidak hanya korban nyawa. Banyak rumah penduduk juga jadi tumbal. Aku jadi ingat model rumah-rumah penduduk di jogja, apalagi di daerah bantul yang masih banyak mempertahankan model rumah joglo.
Jadi ingat waktu masih wara-wiri dengan Danti untuk penelitian penyu di pantai samas. Setiap minggu kami pasti melewati jalan-jalan di samas dan pandan simo. Syukurlah katanya gempa melewati pantai samas. Aku denger-denger lagi, daerah mereka terselamatkan karena gumuk-gumuk pasir. Gunungan pasir aneh yang selalu kupertanyakan, apa tuhan gak punya kerjaan. Kenapa sampai sempat membuat gumuk-gumuk pasir. Mengganggu pemandangan.
Ck...ck..ck... kenapa Jogja sampai kena gempa ya?. Ditengah-tengah aku lagi bingung mikir jawabannya. Permadi membuat pernyataan aneh di infotaiment. Gempa ada dijogja karena kemurkaan Ratu Pantai Selatan, karena sudah gak diperhatikan lagi oleh keraton. Katanya lagi Jogja gak mungkin kena gempa, selain karena kemurkaan ratu pantai selatan. Jogja selama ini dilindungi oleh pasukan kasat mata dari selatan. Selama ini jogja belum pernah diapit bencana seperti ini. Seperti dijepit ancaman dari selatan dan utara. Permadi menyarankan agar kesultanan jogja mulai memelihara hubungan baik lagi dengan ratu pantai selatan. Ruwatan mungkin ya. Tapi bukannya setiap malam bulan suro itu ada sekatenan?.
Ternyata, veda juga setuju dengan Permadi. Heran, tumben tuh anak pola pikirnya percaya magis.
”iya. Sultan itu harus kawin lagi. Gak belum punya anak cowok tuh. tar, ratu selatan kawin ama sapa?. Masak ama anak cewek sultan. lesbi donk.” katanya, memprovokasi.
Iya juga. Aku baru inget, Permadi pernah bilang ada ikatan khusus antara sultan jogja dengan Nyi Roro Kidul, ratu pantai selatan. Setiap sultan jogja itu adalah suami gaib Nyi Roro Kidul. Perkawinan gaib inilah yang melindungi warga jogja dari segala bencana yang mengancam.
”Sultan kan selama ini yakin tuh, kalau anak-anaknya bakal bisa memimpin jogja. makanya beliau gak kawin lagi. Tapi sultan lupa ama hal-hal magis begitu.” tambah veda lagi, becanda mungkin. Tapi karena dia ngobrolnya tanpa ekspresi didepan laptop, kesannya jadi serius.
”makanya tuh, sultan itu harus kawin lagi. Tapi kita liat aja, sultan mau kawin lagi gak?” sahutnya sembari melirikku, menantang.
”jadi dirimu setuju kalau sultan kawin lagi. Weekkk, aku gak setuju. Poligami dong.”
”untuk menyelamatkan daerahnya?” tantang veda
”emang nanti, kalau kita gak punya anak cowok, kamu mau kawin lagi gitu?” sahutku sebal.
”lah... kok jadinya kita yang kena. Kan aku bilang sultan. lagian, untungnya aku bukan sultan.”
”untung apa buntung?..”
aku heran. Gempa di jogja benar-benar tidak bisa diprediksikan penyebabnya apa. Tapi yang pasti, apa poligami jadi solusi biar besok-besok jogja gak gempa lagi. Lagian kan kasian Gusti Ratu Hemas, dimadu. Padahal selama ini, aku salut dengan kepemimpinan Sultan Hemangku Buwono X. Beliau sangat ngemong. Hanya beliau yang bisa meredakan emosi kawula jogja ketika reformasi, kerusuhan dan lainnya. Satu lagi, beliau monogami. Tidak seperti sultan-sultan terdahulu yang istrinya banyak. Veda lagi, nyebelin. Kok dia ada ide aneh nyuruh sultan kawin lagi. Emang dia kepikiran kawin lagi??.. gawat neh.. belum setahun usia perkawinan kami. Hiiiii.......
aku berdoa. Sungguh. Sudah lama kayaknya aku gak berdoa. Abis belum ada hal-hal seru yang harus ku update ama Tuhan. Tapi gempa dijogja ini bener-bener.. ck ck ck.. Mudah-mudahan jogja, segera pulih dari bencana. Jogja udah kayak kampung keduaku setelah Bali. Aku kangen jalan-jalan di kranggan, kangen beli cakue didepan agatha di asem gede. Itu cakue terenak yang pernah ku makan. semoga jogja tidak menjadi mahal, karena masuknya banyak lembaga bantuan seperti halnya di aceh. Gawat nanti kalau jogja jadi mahal, kasian mahasiswanya jee....
Dan semoga juga, sultan gak kawin lagi, dan bisa nyari solusi lain untuk pemecahannya.
Kalau iya, permadi bener. Kalau gak gimana??....
1 comment:
Dewi yang baik,
Jadi ingat pengalaman menceburkan Indar sama-sama ke laut deh ketika baca posting ini. Memang anak satu itu bandel minta ampun!
Post a Comment