Friday, October 26, 2007

KUALAT DAN STRESS

Ketika hamil, ada banyak sekali pantangan yang tabu untuk dilanggar, takut kualat!. Orang-orang tua dan yang pernah hamil sebelumnya, punya deret panjang daftar Do’s and Don’ts. Bertengkar dengan orang tua adalah salah satunya. Seperti, barusan ini, aku bertengkar dengan ibuku.

Perkara sepele sebenarnya. Ceritanya begini, Ibuku mau merebus telur ayam kampung, yang tadi sore ditemukan oleh Pak Tagen (tukang kebun lepas yang sering membantu membersihkan rumput liar dirumah), Pak Tagen bilang telur itu sudah semuuk (busuk), makanya dia tidak membawanya pulang. Pak Tagen, adalah tukang bersih-bersih dalam arti yang sebenarnya, termasuk juga sering membawa pulang barang-barang lainnya, kayak tas, sandal, baju bekas dan lainnya sampai bersih. Setiap kerja dirumahku, ada aja yang diminta diluar ongkos yang biasanya diberikan. Tidak mau rugi deh pokoknya. Balik lagi ke masalah telur, berhubung telurnya semuuk, jadi ditinggal begitu saja di Bale Dangin.

Ibuku baru saja datang dari pasar, ketika dia ingin merebus telur itu. Sontak aku melarang. Aku punya trauma merebus telur dimasa kanak-kanak. Waktu itu, mungkin umurku kira-kira 6 tahun, diwarung Miyan Toblo, warung yang lokasinya hanya 30 meter dari rumah, tempat biasanya aku dibelikan sarimi rebus oleh nenekku. Anaknya Miyan Toblo, waktu itu merebus telur ayam. Telur itu dimasukkan kedalam plastic dan plastic itu dimasukkan dalam air mendidih. Tidak lama setelah itu diangkat, dan telurpun dikupas. Mbok Lilik minta tolong ke aku untuk mengupas dan memotong telur itu menjadi dua, aku lupa untuk apa. Ketika dikupas aku kaget setengah mati, ada pitik (anak ayam) yang mati terebus ditanganku, Aku sedih. Ternyata telur itu hanya tinggal menunggu waktu untuk menetas. Lama setelah kejadian itu, aku takut setiap kali mengupas telur aku khawatir ada anak ayam didalamnya. Begitu juga ketika mau memotong telur rebus, atau membuat telur ceplok. Aku seperti dihantui bayang-bayang anak ayam itu, padahal bukan aku yang merebusnya.

Aku lupa apakah aku sudah pernah menceritakan trauma ini pada ibuku. Tetapi sepertinya tidak karena dia tidak menghiraukanku, dan tetap jalan kedapur mengambil panci untuk merebus. Aku marah. Aku bilang sama ibu, jangan telur itu sudah busuk, kata Pak Tagen dan jangan-jangan nanti ada anak ayamnya. Ibuku bersikukuh mengatakan tidak akan ada anak ayam. Aku putus asa melarang ibuku, meskipun volume suaraku sudah dinaikkan, kalah juga dengan tingginya volume suara ibuku menentang protesku.

Aku putus asa, langsung mengepak pakaianku. Aku merasa gerah, panas, tidak nyaman berada dirumah, tidak ada dukungan untuk membantuku merasa nyaman. Padahal itu yang kubutuhkan untuk membuat bayi didalam kandunganku selalu merasa nyaman.

Aku langsung mengambil kunci mobil dan memasukkan barang. Aku pamit dengan ibuku, dengan kalimat nyelekit. “aku mau tidur di Kesambi saja, ibu aja yang dirumah biar nyaman dirumah sendiri, dan tidak ada yang diajak bertengkar”.

Ibuku bertanya, “salahku apa?, dilarang merebus telur, aku tidak jadi merebus telur. Sekarang kok masih marah-marah. Memang anak sekarang tidak bisa membuat senang orang tua”.

Memang, tidak lama setelah aku mengepas barang, ibuku tidak jadi merebus telur, tapi aku sudah terlanjur marah sampai ubun-ubun, aku sudah merasa gerah dan ingin segera pergi dari rumah.

Kakekku juga mencoba meredakan marahku, dan berkata “wik, orang hamil itu tidak boleh marah-marah aja kerjaaannya. Harus sabar!”

Aku tidak menjawab dan terus mondar mandir memasukkan semua barang. Tas ransel tempat baju, tas laptop dan tas slempang postman untuk dompet dan kawan-kawannya.

“kapan kamu pulang”, tanya ibuku ketus

“Gak pulang mungkin”, jawabku sambil membuka pintu garasi dan kemudian mengeluarkan mobil.

Aku terus melaju berangkat ke rumah kami di Kesambi. Sebenarnya rumahnya Veda, karena aku sama sekali tidak urunan membayar kredit rumah setiap bulannya, hanya urunan setengah untuk membeli kitchen set. Berhubung aku istrinya veda, jadi bisa menumpang klaim atas rumah di Kesambi. Hehehe

Balik lagi ke masalahku dengan ibuku. Sepanjang perjalanan menuju ke Kesambi (dari Sukawati hanya 20 menit menyetir sambil melamun dan hanya 15 menit kalau menyetirnya focus), aku terus berusaha meredakan perang bathin didalam otakku, antara menyesal dan berhak marah dengan kelakukan ibuku.

Kalau aku berpikir tenang, aku sadar mengapa hari ini aku begitu “gerah”. Pertama, alasannya karena mungkin aku tidak bekerja lagi, dan lagi diserang post power syndrome. Diantara perasaan bosan, jenuh, sedih adalah perasaan menjadi orang yang tidak berguna-lah yang mendominasi mood-moodku. Tidak bekerja membuat kita tidak bisa berencana. Padahal aku sendiri bekerja juga dengan menerjemahkan referensi-referensi yang berbahasa Inggris untuk temanku yang sedang mengambil master manajemen perbankan.
Lumayan dapat uangnya.

Kedua, aku sudah bosan dengan rutinitas keseharianku belakangan. Bangun jam 7 pagi , itupun rasanya sudah dilama-lamain bangunnya tetapi masih juga terlalu pagi untuk seorang pengangguran – setelah itu menyapu rumah, memasak, mebanten saiban (sesajen), nonton serial film India (tidak ada pilihan lain), dilanjut dengan Oprah Winfrey, setelah itu makan siang, membaca atau kadang-kadang mengerjakan terjemahan buku pesanan Pak Yoga (bos, teman curhat, bapakku, banyak sekali identitas yang kutempelkan padanya), setelah itu tidur siang, bangun, menyapu lagi, mandi, nonton tv tetapi gonta-ganti channel terus karena tidak ada program keren, sementara kakekku menyetel Bali TV, padahal programnya juga tidak ada yang seru, copy cat program tv nasional. Intinya, aku sudah mulai bosan dengan aktivitas keseharianku. Mungkin ini yang menyebabkan aku mudah marah.

Ketiga, polusi suara. Sejak bulan purnama kemarin, ada odalan di Banjar Palak, banjarku. Apa karena ada perubahan referensi suara yang membuatku nyaman sudah berubah didalam otakku, atau ada alasan lain yang aku tidak sadari, tetapi aku sangat merasa terganggu dengan orang mekekawin (melantunkan doa-doa pujian), rasanya nadanya tidak pas, dan suaranya terlalu nyepreng, atau karena volume pengeras suaranya terlalu kencang, yang pasti alunan lembut album Jazzy tone 3, tidak lagi terdengar menyamankan bersaingan dengan lengkingan suara ibu-ibu yang mekekawin. Waduh!, prosesi odalan masih dua hari lagi dari empat hari secara keseluruhan.

Keempat, kucing-kucing liar yang berkeliaran di rumah. Aku adalah orang yang jarang di rumah. Begitu harus melewati hari-hari dengan tinggal dirumah, ada saja hal-hal jahil yang akhirnya memicu stress. Sebelumnya tiga kucing liar ini, aku sebal dengan anjing-anjinga tetangga yang mondar-mandir masuk ke rumah, mengais-mengais sisa makanan di tempat sampah di dapur, atau menunggu kami yang lengah lupa memasukkan lauknya kembali ke lemari dapur. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya ada enam ekor, memang mereka tidak datang kompak bersamaan, satu dua dulu, keluar lagi, diselingi anjing yang lainnya lagi. Tetapi anjing-anjing itu tidak hanya datang untuk mencari makan, kadang-kadang hanya mampir untuk minum saja dari kolam. Karena capek berteriak-teriak mengusir anjing itu, akhirnya kututup saja pintu pagar didepan biar mereka tidak bisa masuk. Tetapi anjing sekarang ternyata lebih pintar (padahal mereka tidak makan minyak ikan ya..), anjing itu masuk lewat tembok tetangga. Lama-lama mungkin karena mereka bosan juga diusir paksa setiap hari, mereka tidak datang lagi. sejak itulah si kucing meraja lela. Bahkan lebih parah dalam soal mencuri-curi makanan. Mereka lebih cerdik dari anjing, bahkan bisa membuka kulkas segala. Aku bertanya kenapa tuhan menciptakan makhluk hidup yang bernama kucing, fungsinya apa ya? Selain jadi pencuri lauk dan membuat orang stresss!!!!

Belum lagi belakangan ini sering merasa kaki dan tanganku terasa lemas tidak beralasan. Tiba-tiba paralyzed, tidak ada tenaga. Aku ingin sekali ada yang memijat kaki dan tanganku ketika aku lagi merasa lemas. Veda tidak ada di Bali, satu-satunya yang menganggur adalah ibuku. Tetapi ibuku terlalu capek setelah seharian mengajar dan berjualan dipasar. Aku merasa terabaikan dan tidak ada yang mendukungku. Saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkan sedikit pijatan. Hanya itu. Seringkali aku menahan rasa lemasnya. Ibuku menuduhku terlalu manja dengan kehamilanku, dan membandingkan aku dengan Diah, adikku yang selalu tegar dan penuh energi di kehamilannya. Meskipun dari mertuanya Diah, aku tahu Diah sewaktu kehamilannya yang pertama juga tidak berdaya seperti aku, lemah. Hanya di kehamilannya kedua, dia lebih kuat. Ibuku mana mau menyadari kenyataan ini, dimatanya Diah itu tegar.

Kekecewaanku pada ibu, kemarahanku pada kucing dan polusi suara orang mekekawin, mungkin menggumpal hari ini. Aku benar-benar lelah. Aku tahu aku kualat dengan ibuku. Aku tahu, hamil tidak hamil, tetap saja kualat kalau bertengkar dengan ibu sendiri. Apalagi pamali bagi orang hamil, katanya jangan melawan orang tua nanti anaknya susah lahirnya. Cerita-cerita orang dulu, kalau seorang wanita suka melawan orang tua, dia akan susah melahirkan, anaknya baru akan lahir kalau kepalanya diinjak oleh ibunya.

Mudah-mudahan ini tidak terjadi padaku dan anakku. Semoga anakku lahir dengan selamat dan normal tidak kurang satu apapun. Aku bertaruh segalanya untuk bayiku, bahkan jika dalam kehidupan ini kita diberi jatah sejumlah keberuntungan oleh tuhan, aku bersedia mempertaruhkan semua keberuntunganku untuk kebaikan bayi yang kukandung ini. Malam ini, buru-buru aku minta maaf kepada Tuhan, aku tahu mungkin ini salah sasaran, seharusnya aku minta maaf pada ibuku. Besok aku akan minta maaf. Biarlah malam ini, aku minta maaf kepada pemilik alam semesta ini, termasuk pemilik ibuku sendiri, mudah-mudahan dosaku hari ini termaafkan dan tidak akan terjadi apa-apa dengan anakku.

Tuhan, maafkan aku Tuhan.