Setahun setelah aku menikah dengan Veda, aku tidak terlalu banyak tahu saudara-saudaranya dari pihak ibu. Kalau dari pihak bapaknya, aku banyak tahu, karena sebagian besar masih tinggal di Bali, meskipun beberapa bagian lainnya sudah menyebar juga di beberapa tempat di luar Bali. Kepulangan kami ke Surabaya kemarin juga menjadi ajang silaturahmi keluarga besar ibunya Veda di Surabaya. Kebetulan kakak ibunya Veda sedang berada di Surabaya mengunjungi anaknya yang kerja di Surabaya, hari-hari biasanya Bu De – begitu aku memanggilnya – tinggal di Jakarta bersama putranya yang masih lajang.
Pak De Awok adalah salah satu saudara tiri ibunya Veda. Diusianya yang hampir 70 tahun, beliau terlihat rapuh dikalahkan dengan penyakit diabetes. Akibat penyakit ini, kedua matanya sudah tidak berfungsi dengan baik, tetapi beliau masih bisa melihat. Gurat ketampanan di masa mudanya masih terlihat jelas, suaranya sangat lantang dan lugas dengan logat Jawa yang medok.
Dirumahnya, Pak De tinggal bersama istrinya dan satu anak laki-lakinya, dua anaknya yang lain sudah menikah dan tinggal dirumah mereka sendiri-sendiri. Sesekali mereka datang untuk menitipkan cucu. Kesibukan mengurus cucu menjadi keceriaan dan kebanggaan mereka. Hampir seluruh pembicaraan di dominasi oleh perkembangan si cucu, Yusuf.
Aku sama sekali tidak tahu informasi tentang Pak De, selain dia adalah saudara tiri ibu mertuaku. Selama perjalanan pulang, barulah Ibu dan Bu De, bercerita kalau Pak De yang suka menyendiri dan menyembunyikan diri dari silaturahmi keluarga ternyata seorang ahli perkapalan jebolan sebuah Rusia.
Kata ibu, semasa mudanya Pak De (kalau tidak salah) adalah seorang marinir. Pada waktu pemerintahan Presiden Soekarno, beliau mendapat beasiswa belajar tentang perkapalan di Rusia. Agak lama kata ibu, beliau menjalani masa studi. Itu karena ada salah seorang dosennya jatuh hati padanya, sengaja untuk beberapa mata kuliah dia tidak lulus sehingga waktu studinya lebih lama.
Selama belajar di Rusia, Pak De Awok kemudian menikah dengan seorang perempuan Rusia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Tidak jelas, apakah akhirnya dia menikah dengan dosen yang naksir berat dengannya atau dengan perempuan lain.
Setelah menyelesaikan studinya di Rusia, Pak De Awok berencana untuk pulang ke Indonesia dengan membawa anak istrinya. Namun perubahan konstelasi perpolitikan zaman itu, mengubur mimpi mereka. Setelah Soekarno di kudeta Soeharto dan PKI di bumi hanguskan, ternyata kondisi itu berdampak pada akademisi yang mendapat mandat tugas belajar di luar negeri. Apalagi belajar di Rusia, pusatnya perkembangan Komunis. Ketika pemerintahan tidak demokratis Soeharto mulai mengendalikan Jakarta, diberlakukanlah screening (pengawasan ketat) bagi akademisi yang belajar diluar untuk pulang ke Indonesia. Mereka bahkan di karantina beberapa waktu untuk memastikan bahwa mereka tidak terkontaminasi bakteri Komunis. Namun untuk menjadi bersih dari bakteri komunis, tidak hanya dengan karantina dan pendoktrinan tetapi juga ada surat jaminan dari keluarga sebagai penanggung jawab.
Teman-temannya Pak De kala itu memutar keras kepala mereka untuk memulangkan anak istri (terutama yang menikah dengan perempuan Rusia). Sebagian besar katanya dikirim dengan kapal kargo yang diberi sedikit lubang, celah untuk bernafas. Upaya ini dilakukan untuk mengelabui pihak imigrasi. Ada larangan yang tidak tertulis untuk tidak membawa anak istri berdarah Rusia kembali ke Indonesia.
Pak De kasihan jika anak istrinya harus tinggal di kotak kayu dengan sedikit celah bernafas, apalagi jarak antara Rusia – Indonesia tentu teramat sangat jauh. Pak De akhirnya pergi ke KBRI di Moskow untuk memohon keringanan. Saat itu Pak De datang bersama anak istrinya. Ketika masuk untuk mengurus birokrasinya, anak istrinya menunggu di ruang tunggu. Namun setelah keluar, Pak De tidak menemukan lagi anak istrinya. Itu pertemuan terakhir mereka.
Tidak jelas, siapa yang membawa anak istrinya, apakah mereka diculik? Siapa yang menculik?. Apakah KGB, mata-mata Rusia, atau justru mata-mata dari pemerintah Indonesia sendiri. Pak De kebingungan mencari mereka, sisa-sisa tabungannya digunakan sepenuhnya untuk mencari tetapi tetap tidak bertemu. Akhirnya, Pak De pulang kembali ke Indonesia.
Setelah melewati masa karantina dan mendapat jaminan dari keluarganya yang kebetulan petinggi ABRI kala itu, akhirnya Pak De bisa bekerja di PT PAL, Perusahaan Perkapalan milik pemerintah. Gajinya waktu itu dia kumpulkan untuk kembali ke Rusia mencari anak-anaknya. Setelah berbulan-bulan mencari dan tabungan habis akhirnya dia pulang lagi ke Indonesia dengan tangan hampa. Beberapa kali dia datang bolak balik ke Rusia, tetapi tetap bertemu. Sehingga akhirnya, dia pasrah dan berusaha melanjutkan hidupnya lagi dengan menikahi Bu de istrinya yang sekarang ini.
Dibalik tutur katanya yang pelan dan pemilihan kata yang tegas, aku merasa bahwa dia membawa beban yang berat dalam hidupnya. Bagaimana nasib anak istrinya di rusia, adakah istrinya sudah menikah lagi. Bagaimana anaknya, apakah anaknya sudah menikah dan memberi dia cucu… tetapi yang lebih mengkhawatirkan mungkin di dalam pikirannya adalah pertanyaan apakah mereka masih hidup.
Kemudian aku mengerti mengapa Pak De Awok cenderung menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Hidup mengajarkan dia untuk tidak percaya dengan orang, dengan system. Seorang korban dari pertarungan politik yang haus kekuasaan, darah dan uang. Tidak terhitung lagi betapa dosa Soeharto. Sebagai jebolan fakultas ilmu Politik, secara humanis sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa ideology begitu kuat menyetir kehidupan seseorang dimana sebenarnya tidak jadi persoalan ketika ideology hanya untuk individu mereka sendiri. Tetapi ketika hegemoni individu dipaksakan untuk kehidupan orang lain. Ada banyak sekali korban, Pak De Awok, Dadongku, dan keluarga korban PKI lainnya.