Monday, October 08, 2007

POTONG RAMBUT

Hamil juga mengubah cara pandang. Sekaliber orang penganut kritis dan positifistik murnipun, sepertinya bisa berubah menjadi konservatif juga ketika hamil. Apalagi kehamilan yang pertama. Berbagai nasehat dan larangan aneh bin ajaibpun, terasa biasa dan dijalani juga. Takut kualat.

Seperti aku ini. Menurut orang bali, suami dilarang memotong rambut ketika istrinya sedang hamil. Tabu!. Meski sekarang semakin banyak suami yang berpikiran logis bahwa tidak ada hubungannya menjadi gondrong dengan keselamatan kehamilan istri, sehingga mereka berani memotong rambut. Seperti Tude, suami adikku Diah, di kehamilannya yang kedua, Tude malah potong rambut ala Indian style David Beckham. Katanya, alah nyantai aja!

Aku termasuk kelompok konservatif, kalau berhubungan dengan alam yang tidak kelihatan. Jadi, aku melarang Veda potong rambut. Walaupun terdengar tidak logis, aku hanya tidak ingin ada hawa buruk menghambat tumbuh kembang janin anak pertamaku. Sebisa mungkin aku ingin meminimalisir kemungkinan buruk baik di alam Skala (terlihat) dan Niskala (tidak terlihat).

Padahal kalau aku pikir-pikir memang tidak ada hubungannya potong rambut dengan kehamilan istri secara fisik ya.. tetapi mungkin secara psikologis. Ketika hamil, si istri akan terlihat semakin jelek secara fisik, tubuhnya melar, payudara membesar, belum lagi kondisi emosi yang cenderung tidak stabil. Ini tidak berlaku untuk semua wanita hamil ya..karena ada beberapa yang merasa semakin percaya diri dan cantik ketika mereka hamil. Nah, dengan kondisi si istri yang lagi tidak stabil, si suami berempati juga menjadi jelek dengan tidak potong rambut. Kalau sudah jelek, tidak ada wanita lain yang akan melirik suaminya, jadi si istri tidak perlu khawatir kalau-kalau suaminya dilirik wanita lain. Hahaha….

Sebenarnya Veda sempat protes dengan permintaanku, karena sekitar dua – tiga bulan yang lalu dia sibuk untuk upaya melobi pemerintah pusat untuk mengesahkan peta Zonasi Taman Nasional Kelautan Wakatobi. Berhubung sering bertemu dengan pejabat pemerintah, dia merasa tidak nyaman tampil berantakan.

Dia bertanya pada banyak orang disekitarku, dari ibuku, paman-pamanku dan teman-teman Balinya yang lain. Sialnya, ibuku malah memprovokasi dan berkata “gak ada itu hubungannya, dulu waktu saya hamil Dewi, bapaknya biasa tuh potong rambut”. Veda merasa mendapat angin segar. Apalagi dulu bapaknya Veda juga potong rambut disaat ibunya sedang hamil, ya maklum saja, bapaknya Marinir.

Aku sendiri membiarkannya mencari jawaban. Aku tidak ingin memaksanya juga. Dari awal hubungan, kami sangat menghindari untuk mengintervensi keputusan masing-masing pihak untuk membuat sebuah kompromi. Akhirnya satu saat, Veda ada pada keputusannya, dia bertanya: Kalau aku potong rambut, kamu merasa nyaman gak?, aku jawab : Gak!. Dia memutuskan, ya sudah aku tidak potong rambut!.

Bagiku, ini bukan perkara menang dan kalah atau ajang menguji cinta!. Bagiku, apapun akan kulakukan agar tumbuh kembang anakku tidak terganggu, aku berusaha. Sangat berusaha. Untungnya, Veda memahami.

Tetapi menurutku, lucu juga Veda berambut gondrong, dia sudah seperti preman Wanci – sebuah pulau kecil di sebelah tenggara Kota Kendari, 10 jam lagi naik kapal. Sebelumnya, dia tidak pernah gondrong, setidaknya dari sejak awal kami pacaran. Dia selalu rapi dengan potongan rambut pendek belah samping kanan. Sekarang, wajahnya tampak lebih dewasa, untuk lebih sopannya daripada mengatakan lebih tua. Tidak apa-apa juga, setidaknya dari sekarang, dia tinggal menunggu beberapa minggu lagi untuk potong rambut.