Monday, October 08, 2007

WHAT IS IN A NAME


Satu lagi kesibukan lain menjelang persiapan melahirkan adalah mencari nama bayi!. Ini penting tetapi tidak genting. Tetapi juga tidak ada salahnya kalau dipersiapkan jauh-jauh hari sehingga nanti pada hari H-nya tidak bingung.

Seperti adikku, Diah, sampai sekarang dia masih bingung siapa nama yang baik buat anaknya yang kedua. Padahal anaknya sekarang sudah berusia enam bulan dan suaminya sudah memberi nama anaknya : Lanang Sindhunatha yang artinya Raja Laki-laki kerajaan Sindhu – sebuah sungai suci yang dipercaya sebagai asal muasal peradaban Hindu di India. Tapi Diah sendiri belum memantapkan hati dengan nama itu. Nama anak pertama Diah bagus juga : Damar Paramadyaksa. Katanya artinya, cahaya penerang yang diharapkan bisa bersikap adil.

Aku bingung komponen apa yang harus dipertimbangkan ketika memilih nama untuk seorang anak. Apakah biar keren harus pakai kata-kata yang diambil dari bahasa Sansekerta – biasanya orang Bali begitu, atau pilih nama-nama dengan bau modern seperti telenovela Meksiko, Latin atau yang lain. Apa lebih bagus memakai nama Dewa-Dewa, atau tokoh pewayangan. Namaku Parama Utami Dewi, suamiku namanya I Wayan Veda Santiaji, apakah bagusnya diambil dari persetubuhan nama kami berdua?. Apakah seharusnya memilih nama berdasarkan harapan kami akan kehidupannya kelak, biar dia jadi pemimpin, orang kaya, terkenal, dan lainnya?

Aku jadi membayangkan ketika memilih nama untukku, apa yang terlintas dibenak bapakku, apakah dia juga menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang kuhadapi sekarang. Seperti biasa, aku mendiskusikannya dengan Veda, dan dia bilang sebaiknya kami mulai mendata dan mendaftar nama yang sekiranya bagus. Dia akan berusaha juga mengumpulkannya selama dia di Sulawesi dan aku juga mengumpulkannya di Bali. Siapa tahu kami mendapat inspirasi yang bagus.

Aku mulai berpikir, siapa nama yang bagus. Setahuku - aku tidak merujuk pada satu referensi karena belum pernah membaca tentang hal ini – ada beberapa gelombang perubahan nama di kalangan orang Bali sendiri. Dalam generasi diatas bapakku almarhum, nama-nama orang Bali yang biasanya dipakai adalah yang berkaitan dengan gejala-gejala alam, bunyi-bunyian, kayu, tumbuhan dan lain sebagainya, misalnya namanya I Wayan Gerebeg. Gerebeg itu artinya seperti gempa, guncangan dan lain-lain. Mungkin pada waktu dia lahir ada gempa, jadi untuk mengingatkan orang tuanya tentang hiruk pikuk dihari itu dinamakanlah dia Gerebeg.

Ada juga tiga orang bersaudara di banjarku namanya mirip satu sama lain, kaki (kakek) yang adalah anak laki-laki tertua namanya Sergog, terus adiknya, Sergig, dan adiknya satu lagi namanya Sergug. Jadi tiga orang itu namanya : Sergog, Sergig, Sergug. Bedanya hanya di satu huruf vocal. Aku sendiri tidak tahu artinya Sergog. Sementara nama-nama yang perempuan seperti Klabet, Nyanten, Moning, Monong, Rempyeg dan lainnya.

Setelah itu gelombang satu generasi bapakku. Nama-namanya mulai berubah, biasanya diawali dengan suku kata “SU’ yang artinya baik, diambil dari bahasa Sanskerta atau Jawa Kuno. Nama-nama yang ngetren seperti Suteja (nama bapakku) – “Su” artinya Baik, “Teja” artinya Sinar, Suteja mungkin artinya Sinar yang baik – semoga dia dapat menyinari keluarganya dengan baik. selain itu ada nama-nama seperti, Subrata, Sukadana, Sukerena, Sudana, Suparta, Subawa, Sukarta, Sukarma, Suprapta, Sukadana, dan lain-lainnya. Sementara yang perempuan juga sama, seperti : Sukarti, Sukasih, Sukreni, Sudarmi, Sukarmi, Sudiasih dan lainnya.

Selanjutnya berubah kearah trend mencari nama yang berbau jawa kuno atau Sanskrit dengan perpaduan dua kata atau lebih. Dan ada beberapa gelombang orang yang frustasi dengan system strata social dengan kasta, sehingga menghilangkan identitas kedaerahan Bali didepan namanya, seperti menghilangkan Wayan, Made, Nyoman, Ketut. Apalagi kemudian ditambah lagi dengan program Keluarga Berencana yang mengkampanyekan slogan “dua anak cukup”! - Tidak tahu, kenapa setiap mendengar kata dua anak cukup, aku selalu ingat dengan kelinci!. Aneh- maka semakin berkurang orang Bali yang memakai nama Nyoman dan Ketut. Golongan penentang kasta dan beraliran nasionalis seperti misalnya bapaknya yang tidak memakaikan Wayan atau Putu di depan namaku dan adikku, nama adikku Diah Ary Perwirani. Ada juga beberapa saudaraku tidak memakai nama bali, jadi nama mereka : Krishna Adithama Ekasuta, Dwi Indra Radha Krisnhanti, Krishna Yudha Tripamungkas, Pavita Komala Kusuma Dewi.

Generasi dibawahku, anak-anak kecil sekarang, namanya sudah mengikuti nama-nama sinetron, film atau artis. Namanya seperti, Amanda, Kevin, Satrio, dan lain-lain. Ada seorang anak perempuan yang diadopsi oleh pasangan yang tidak punya anak di Banjarku, menamakan anaknya Esterlita, nama seorang tokoh telenovela Meksiko yang pernah ngetrend di televisi. Lucunya juga, ada seekor anjing di banjarku namanya Rudolfo.

Kembali lagi ke nama untuk anakku. Belakangan aku mulai rajin menjamah kamus bahasa Kawi atau Jawa Kuno, sebenarnya bukan tanpa alasan. Dirumahku ada beberapa kamus bahasa : Inggris (tentunya), Perancis, Jepang, Swedia dan Jawa Kuno. Tentu saja, empat terdepan itu tidak cocok dengan kultur Indonesia apalagi Bali. Dari kamus Jawa Kuno aku menemukan beberapa kata yang lucu untuk anak laki-laki – hasil USG mengatakan bayiku laki-laki. Aku berharap dokternya tidak salah lihat. Aku ingin punya anak laki-laki, karena aku tidak pernah punya saudara laki-laki. Nama-nama itu seperti : Manggala Kanta, Narendra Kila, Raka Abhimata, Rakryan Manggala Abhimata, Ekanata Diwangkara, Nayaka Kila Santikarma. Aku tidak tahu neh yang mana yang keren. Veda bilang tunggu dari dia dulu. Sampai sekarang dia belum ada inspirasi, katanya, gimana mau dapat inspirasi, nama-nama di sini umumnya, La Ode, Wa Ode, La Biru, dan lainnya.

Tetapi apapun itu namanya, aku berharap semoga anakku lahir dengan sehat, normal dan tidak kurang satu apapun. Aku juga tidak mau memberatkannya dengan nama yang mencerminkan segala ambisi dan keegoisanku.